Ambon, 3 Agustus 2025 — Anggota DPD RI Dapil Maluku, Boy Latuconsina, hadir memberikan arahan dan pandangan strategis dalam Konferensi Cabang dan Diklatsar Banser ke-II Gerakan Pemuda Ansor Kota Ambon. Dalam forum kaderisasi tersebut, Boy mengungkapkan kegelisahannya atas kondisi sosial-politik di Maluku yang dianggap stagnan meski memiliki kekayaan sumber daya manusia dan alam yang melimpah.
Dalam pidatonya, Boy menyoroti persoalan mendasar yang membuat Maluku belum keluar dari status sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia, meski sudah dua dekade berlalu. Menurutnya, masalah utama bukan pada keterbatasan sumber daya, tetapi pada ketidakmampuan daerah dalam mengonsolidasikan potensi masyarakat adat secara sistemik.
“Beta sudah delapan bulan dilantik dan fokus mengurai benang kusut ini. Bayangkan, 20 tahun kita masih berada di empat daerah termiskin. Padahal kita punya lebih dari seratus profesor, ribuan doktor, dan belasan ribu magister. Ada yang salah,” ujar Boy dengan nada prihatin.
Boy menilai bahwa salah satu akar stagnasi Maluku adalah pencabutan kedaulatan masyarakat adat melalui sistem pemerintahan yang tidak berpihak. Ia mencontohkan bagaimana UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan regulasi turunan lainnya justru melemahkan marwah dan kekuasaan raja-raja adat.
“Raja di Maluku kini ditentukan oleh bupati atau walikota, bukan berdasarkan hukum adat. Raja kehilangan hak kesulingannya. Bahkan, ada banyak negeri di Maluku Tengah yang hingga hari ini tidak memiliki raja definitif,” tambahnya.
Ia menilai bahwa ketentuan ini membuat Majelis Latupati bergeser fungsi dari alat perjuangan adat menjadi instrumen kekuasaan lokal yang melayani kepentingan penguasa.
Mencontoh pengalaman masyarakat adat Papua yang berhasil mengonsolidasikan kekuatan lewat Dewan Adat Papua, Boy mendorong agar Maluku membentuk kerangka hukum dan kelembagaan masyarakat adat yang kokoh agar bisa berdaulat di wilayahnya sendiri.
“Kalau raja-raja di Maluku tidak punya kekuatan atas hukum positif dan wilayah ulayat, maka atas nama proyek strategis nasional, kita bisa mengalami apa yang terjadi di Banten: kehilangan tanah dan identitas,” tegasnya.
Boy mengaku telah menginisiasi diskusi intensif bersama akademisi, majelis latupati, serta para raja di Seram, Maluku Tengah, dan Buru untuk merancang konsep hukum positif yang dapat mengakui dan melindungi status hukum raja-raja di Maluku, berbeda dengan pendekatan negara yang menyamakan istilah “raja” dengan “sultan” seperti di daerah lain.
Kepada kader-kader GP Ansor, Boy menitipkan pesan moral dan tanggung jawab kebudayaan, agar organisasi ini turut mengawal dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dalam ruang hukum dan kebijakan negara.

“GP Ansor harus jadi garda depan menjaga marwah adat. Beta hormat dengan sahabat-sahabat Ansor yang hari ini ikut merawat nilai-nilai ini. Peran kalian sangat penting,” pungkas Boy.