Dinas Pariwisata Maluku Sibuk Berbicara, Tapi Lalai Bekerja

Oleh: Friady Toisuta
Pegiat Politik & Pemerhati Kebijakan Publik Maluku

Apakah kita harus terus bertepuk tangan hanya karena tifa dipukul, sambutan dibacakan, dan banner mewah terpampang di hotel berbintang?

Rapat Koordinasi Pembangunan Pariwisata Provinsi Maluku yang digelar pada 19 Juni 2025 di Hotel Golden Palace Ambon—lengkap dengan jargon “Penguatan Ekonomi Produktif dan Inklusif melalui Pariwisata berbasis Pangan Lokal”—sekilas tampak menjanjikan. Tapi mari kita jujur: apa yang benar-benar berubah setelah rakor seperti ini digelar setiap tahun?

Retorika Gempar, Hasil Sunyi

Dinas Pariwisata Provinsi Maluku memaparkan banyak “langkah percepatan”. Tapi jika kita turunkan jargon itu ke realitas di lapangan, apa yang terlihat?

Festival tetap diselenggarakan tiap tahun, tapi siapa yang diuntungkan?

Pelatihan digitalisasi dilakukan, tapi mana startup pariwisata lokal yang tumbuh dan ekspansi?

Branding “GEMPAR MALUKU” digaungkan, tapi belum menggema di benak wisatawan nasional, apalagi internasional.

Ini bukan soal jumlah program. Ini soal kedangkalan dampak.

Dinas Pariwisata Terlalu Sibuk dengan Kertas, Lupa Realitas

Kepala Dinas bicara soal sinergi, kontribusi PAD, dan ekosistem kuliner lokal. Tapi apa benar sektor ini sudah terukur kontribusinya?

Di Kei, masyarakat masih berjuang akses transportasi. Di Banda, potensi wisata sejarah tidak terurus dan pemandu wisata minim pelatihan. Di Seram, storytelling destinasi hanya sampai di brosur—tidak pernah menyentuh narasi digital yang menjual.

Kita tidak butuh dokumen tebal yang menumpuk di meja OPD. Yang dibutuhkan rakyat Maluku adalah kebijakan yang hidup dan menyentuh dapur mereka.

Kontribusi PAD atau Sekadar Pemungutan Formalitas?

Pernyataan soal “kontribusi PAD dari retribusi wisata” seolah menjadi justifikasi keberhasilan. Tapi bagaimana itu dihitung? Apakah ada sistem pengukuran digital yang bisa dipertanggungjawabkan?


Apakah pelaku UMKM benar-benar mendapatkan peningkatan pendapatan dari kunjungan wisatawan, atau hanya sekadar jadi ornamen saat festival digelar?

Jangan-jangan, yang menikmati hasilnya hanyalah segelintir penyedia jasa besar yang itu-itu saja.

Kolaborasi Hanya Nama Jika Tak Terasa Dampaknya

“Kolaborasi lintas OPD” selalu disebut, tapi di mana hasilnya? Jika benar ada sinergi dengan Dinas Ketahanan Pangan, kenapa kuliner lokal belum punya standar kualitas ekspor atau brand nasional?

Jika benar ada promosi bersama diaspora, mengapa wisata Maluku nyaris tak masuk top-of-mind wisatawan mancanegara seperti Bali, Lombok, atau Labuan Bajo?

Waktunya Evaluasi Total

Sudah waktunya Dinas Pariwisata Maluku berhenti bermain di zona nyaman pertemuan hotel dan terminologi “berkelas.” Waktunya berpindah dari panggung pidato ke lapangan pengabdian. Waktunya mengganti narasi normatif dengan indikator keberhasilan yang jelas, terukur, dan bisa diuji dampaknya secara langsung terhadap masyarakat kecil.

Lawamena Mena Haulala, Bukan Lawamena Tanpa Lompatan

Semangat “Sapta Cita Lawamena” hanya akan menjadi jargon indah tanpa makna jika tidak disertai lompatan kerja nyata. Pariwisata Maluku tidak bisa digerakkan oleh seremoni dan spanduk. Ia harus digerakkan oleh keberanian membuat kebijakan yang membongkar kenyamanan semu birokrasi.

Jika Dinas Pariwisata tidak berani berubah, maka biarlah rakyat yang akan mengguncang mereka dari bawah.

Unggulan

Rekomendasi

Memberikan informasi yang akurat, memberikan wadah aspirasibagi masyarakat serta memberikan inspirasi untuk masyarakat luas.

Featured Posts

Follow Us