Ambon – Di tengah sulitnya hidup masyarakat kepulauan, tiket kapal kini berubah menjadi beban baru. PT Pelayaran Dharma Bakti, operator KM Cantika Lestari 8A, dituding menjadikan laut sebagai ladang bisnis tanpa nurani. Tarif tiket yang melambung tinggi tidak berbanding lurus dengan pelayanan yang diberikan. Ruang kabin pengap, air kotor, kursi rusak, dan fasilitas keselamatan yang jauh dari layak itulah kenyataan yang harus ditelan masyarakat setiap kali menyeberang laut.
Ketua LBH GP Ansor Maluku, Al Walid Muhammad, tak tinggal diam. Ia menilai praktik pelayaran Dharma Bakti telah menyalahi prinsip pelayanan publik dan berpotensi melanggar hak-hak konsumen. Ia bahkan tengah menyiapkan langkah hukum melalui Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), mewakili masyarakat pengguna jasa yang telah lama menanggung penderitaan akibat kebijakan tarif dan pelayanan yang tidak manusiawi.
“Ini bukan sekadar mahal, ini sudah penindasan dengan tiket. Masyarakat dipaksa membayar harga tinggi untuk fasilitas yang bahkan tak memenuhi standar keselamatan dasar,” tegas Al Walid, Jumat (10/10).
Dalam investigasi lapangan KawanNews, sejumlah penumpang mengaku kecewa berat. Mereka menyebut pelayanan kapal lebih mirip angkutan darurat ketimbang transportasi penumpang resmi. “Tiket hampir dua kali lipat naiknya, tapi fasilitas nol. Air mandi bau karat, AC mati, dan makanan tak layak konsumsi,” keluh Yohana, penumpang asal Saparua.
Ironisnya, kondisi ini terjadi di tengah minimnya alternatif transportasi laut di Maluku. Dengan posisi monopoli rute tertentu, PT Pelayaran Dharma Bakti praktis memegang kendali penuh atas harga dan layanan dan di situlah rakyat kehilangan daya tawar.
LBH Ansor menilai, pemerintah provinsi dan otoritas pelayaran terlalu lama menutup mata. Tak ada audit publik, tak ada transparansi biaya, dan tak ada langkah korektif. Padahal, kapal-kapal milik Dharma Bakti beroperasi di wilayah strategis yang menghubungkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat kepulauan.
“Ketika laut menjadi satu-satunya jalan rakyat, maka membiarkan perusahaan bermain di atas penderitaan masyarakat sama saja dengan menggadaikan kedaulatan rakyat Maluku,” sindir Al Walid.
Desakan kini menguat evaluasi total terhadap PT Pelayaran Dharma Bakti harus dilakukan, dari tarif hingga izin operasi. Masyarakat menuntut agar negara hadir, bukan sekadar menonton.
Jika gugatan class action benar diajukan, kasus ini bisa menjadi pintu gerbang perubahan besar dalam tata kelola transportasi laut di Indonesia Timur. Dan jika pemerintah tetap diam, publik akan membaca diam itu bukan sebagai ketidaktahuan melainkan pembiaran yang disengaja.