Ambon, 18 Oktober 2025 — Gelombang kritik mulai muncul di tengah euforia pemerintah daerah soal rencana pembangunan Maluku Integrated Port (MIP). Kali ini, aktivis muda Maluku Friady Toisuta tampil lantang mempertanyakan transparansi Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa terkait penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan investor asing yang dilakukan baru-baru ini di Osaka, Jepang.
Friady menuding, isi MoU antara Pemprov Maluku, PT IMJ, dan perusahaan asal Tiongkok Shanxi Sheng’an Co., Ltd disembunyikan dari publik. Ia menilai, sikap tertutup pemerintah menimbulkan kecurigaan kuat bahwa kesepakatan itu lebih berpihak pada kepentingan elite politik kususnya bapak Gubernur Hendrik Lewerisa ketimbang kesejahteraan masyarakat Maluku.
“Kalau MoU itu benar-benar untuk rakyat, kenapa disembunyikan? Kami curiga ada keuntungan pribadi di balik meja. Jangan sampai rakyat Maluku dijual ke Jepang tanpa tahu isi perjanjiannya,” tegas Friady, Sabtu (18/10).
Pihak yang menandatangani MoU adalah Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa, PT IMJ sebagai koordinator lokal, dan Shanxi Sheng’an Co., Ltd dari Tiongkok sebagai penyedia teknologi dan pengembang pelabuhan modern. Proyek ini diklaim bernilai 50 juta dolar Amerika Serikat dan akan meliputi pembangunan terminal peti kemas serta terminal kapal Ro-Ro berstandar internasional.
Kesepakatan diteken di Osaka, Jepang, awal Oktober 2025. Proyek ini disebut selaras dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025–2029, yang menetapkan Maluku sebagai simpul pertumbuhan baru di kawasan timur Indonesia.
Menurut Friady, keterbukaan pemerintah adalah hal mendasar dalam proyek sebesar itu. Ia menilai, tanpa transparansi, rakyat tidak tahu apakah lahan, tenaga kerja, atau bahkan kedaulatan ekonomi daerah akan tetap aman.
“Kami tidak menolak pembangunan, tapi rakyat harus tahu mereka tidak sedang dikorbankan. Kalau pemerintah yakin proyek ini murni untuk kesejahteraan Maluku, buka isi MoU itu!,” tegasnya lagi.
Menanggapi sorotan publik, Gubernur Lewerissa sebelumnya menyebut MoU tersebut sebagai langkah besar membuka gerbang investasi ke Maluku. Ia berjanji pemerintah provinsi akan mendukung penuh studi kelayakan dan proses perizinan agar proyek bisa segera berjalan.
“Kami tidak ingin proyek ini berhenti di atas kertas. MoU ini simbol keseriusan kita agar Maluku bisa sejajar dengan daerah lain,” ujar Lewerissa dalam konferensi pers sebelumnya.
Namun hingga kini, pemerintah belum mempublikasikan isi lengkap MoU itu kepada publik.
Sejumlah aktivis mulai menyuarakan kekhawatiran yang sama. Mereka menilai, proyek sebesar ini tak seharusnya dijalankan tanpa partisipasi publik.
“Transparansi bukan pilihan, tapi kewajiban. Rakyat berhak tahu bagaimana masa depan tanahnya dikelola,” kata Friady menutup pernyataannya.
Proyek Maluku Integrated Port diharapkan menjadi pelabuhan terpadu modern pertama di kawasan timur Indonesia. Namun, tanpa keterbukaan dan pengawasan publik, proyek ini bisa menjadi simbol baru ketimpangan di mana rakyat hanya menonton dari tepi pelabuhan yang dibangun di atas nama mereka sendiri.




















