Ambon — Wakil Ketua Yayasan Peduli Maluku, Friady Toisuta, menyatakan akan segera menyurati Komisi XII DPR RI untuk meminta pemanggilan terhadap Inspektur Tambang Wilayah Maluku. Langkah ini diambil menyusul polemik absennya Kepala Inspektur Tambang dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPRD Maluku yang membahas insiden pencemaran laut akibat patahnya tongkang milik PT Batutua Tembaga Raya (BTR).
Menurut Friady, ia telah berkomunikasi dengan salah satu anggota Komisi XII DPR RI yang membidangi energi dan lingkungan hidup untuk menindaklanjuti persoalan tersebut melalui pemanggilan resmi ke Jakarta.
“Ini persoalan serius yang menyangkut keselamatan lingkungan dan tanggung jawab moral aparat pengawas pertambangan. Kami akan bersurat ke DPR RI agar Inspektur Tambang dimintai keterangan,” tegas Friady di Ambon, Selasa (21/10/2025).
Sebelumnya, RDP Komisi II DPRD Maluku berlangsung panas setelah Kepala Inspektur Tambang Wilayah Maluku tidak hadir dalam forum tersebut. Rapat yang seharusnya membahas dampak lingkungan dari patahnya tongkang BTR pada 26 Agustus 2025 itu terpaksa ditunda.
Tongkang pengangkut material tambang tersebut dilaporkan patah di perairan, menyebabkan tumpahan material yang bercampur air laut dan diduga mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Akibatnya, sejumlah ikan mati dan biota laut di sekitar lokasi rusak.
Koordinator sementara Inspektur Tambang, Helena Heumasse, baru muncul setelah ditelepon langsung oleh staf Komisi II. Keterlambatan itu memicu kemarahan sejumlah legislator yang menilai sikap tersebut tidak menghormati lembaga DPRD.
“Dia sering nongkrong di rumah kopi Joas, tapi begitu kami undang resmi justru tidak hadir,” sindir salah satu anggota Komisi II dengan nada kesal.
Pimpinan rapat menegaskan, ketidakhadiran tersebut merupakan bentuk ketidakkooperatifan yang tidak bisa ditoleransi. “Ini undangan pertama yang diabaikan, dan kami tegaskan ini yang pertama dan terakhir,” ujarnya.
Rapat turut dihadiri perwakilan PT Batutua, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Maluku, serta Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku. Pembahasan difokuskan pada dampak lingkungan akibat aktivitas tongkang yang disebut sudah 28 kali melakukan pemuatan material tambang.
Ketua Komisi II DPRD Maluku juga mempertanyakan legalitas kapal tersebut. “Apakah kapal ini punya izin operasi? Jangan-jangan tongkangnya sudah tidak layak berlayar,” katanya.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas ESDM Maluku, Abdul Haris, menyebut kewenangan perizinan operasional berada di pemerintah pusat. Namun, ia memastikan akan menelusuri data lapangan dan melakukan tindak lanjut terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Sementara pihak Inspektur Tambang berdalih bahwa ketidakhadiran Kepala Inspektur disebabkan belum adanya izin dari pimpinan di Jakarta. Alasan itu ditolak mentah-mentah oleh para anggota dewan, yang menilai koordinasi antara pusat dan daerah tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan persoalan lingkungan yang serius.



















