Oleh: Azhar Ohorella. AMP.d
Pemerhati Kebijakan Publik Maluku.
Sampai kapan Pemerintah Provinsi Maluku akan terus menyuapi Panca Karya dengan dana publik seolah perusahaan ini masih bernyawa.
Sudah terlalu lama BUMD ini hidup dari “infus” APBD tanpa memberi hasil nyata. Dulu disebut aset daerah kini lebih pantas disebut parasit anggaran yang menggerogoti keuangan publik atas nama penyelamatan.
Tiap tahun dana segar dikucurkan dengan berbagai label manis: “restrukturisasi”, “revitalisasi”, atau “penyertaan modal tahap lanjutan”. Namun hasilnya tetap nihil. Proyek tak selesai, aset terbengkalai, dan laporan keuangan penuh tanya.
Rakyat hanya mendengar jumlah uang yang keluar, tapi tak pernah melihat hasil yang kembali.
Lebih ironis, jabatan di tubuh Panca Karya sering kali dijadikan tempat parkir politik. Komisaris dan direksi diangkat bukan karena kompetensi, tapi karena kedekatan. Akibatnya, manajemen BUMD ini kehilangan arah, profesionalisme lenyap, dan orientasi bisnis bergeser menjadi orientasi kekuasaan.
Apakah ini wujud tanggung jawab terhadap uang rakyat..?
Ataukah sekadar cara halus untuk mempertahankan kepentingan kelompok tertentu di balik baju perusahaan daerah..?
Pemerintah Provinsi Maluku dan DPRD seolah terjebak antara gengsi dan akal sehat. Mengakui kegagalan Panca Karya berarti menelan pil pahit politik, tapi mempertahankannya berarti mengkhianati kepentingan publik.
Setiap rupiah yang disuntikkan tanpa arah bukanlah investasi, itu pemborosan yang mencederai kepercayaan rakyat.
Rakyat Maluku berhak bertanya
Mengapa perusahaan yang tak memberi keuntungan masih terus dipertahankan.
Mengapa uang rakyat terus mengalir untuk menutupi kesalahan manajemen dan kelalaian pejabat.
Bukankah lebih bijak jika dana itu digunakan untuk membangun pasar rakyat, memperbaiki infrastruktur, atau mendukung ekonomi pulau-pulau kecil yang selama ini terpinggirkan.
Kita tidak bisa terus memberi napas buatan kepada tubuh yang sudah lama mati.
Panca Karya tidak butuh dana segar, ia butuh kejujuran pemerintah untuk berkata, cukup sudah.
Lebih baik menutup perusahaan yang gagal dengan terhormat, daripada terus memeliharanya sebagai simbol pemborosan dan ketidakmampuan.
Maluku butuh BUMD yang hidup dari ide, kerja keras, dan transparansi, bukan dari sumbangan abadi APBD.
Menyelamatkan Panca Karya hari ini bukan lagi tentang menjaga aset,
melainkan tentang menjaga akal sehat pemerintahan.
Hentikan suntikan dana ke Panca Karya.
Setiap rupiah yang keluar tanpa hasil adalah pengkhianatan terhadap rakyat yang membayar pajak.
Negara bukan rumah sakit bagi perusahaan gagal, dan rakyat bukan donor darah bagi korporasi politik.
Jika pemerintah ingin menegakkan marwah dan keadilan fiskal di Maluku,
maka langkah pertama dan paling jujur adalah berhenti memelihara kegagalan.
Karena tidak ada kebohongan yang pantas dibiayai dengan uang rakyat.



















