Oleh Laode Kamaludin
SANTRI BAKTI NUSANTARA
Menutup akhir tahun 2025, Jakarta kembali dihadapkan pada satu kenyataan pahit yang terus berulang: krisis air bersih yang kian mengkhawatirkan. Di balik gemerlap gedung pencakar langit dan klaim pembangunan modern, ibu kota justru berdiri di atas fondasi rapuh—tanah yang terus ambles akibat eksploitasi air tanah yang masif dan tak terkendali. Krisis ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cermin dari kegagalan tata kelola, ketimpangan akses, dan abainya BUMD PAM JAYA terhadap hak dasar warganya atas air bersih.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa jutaan warga Jakarta masih bergantung pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sumur bor menjadi solusi darurat yang berubah menjadi kebiasaan struktural. Ironisnya, praktik ini tidak hanya dilakukan oleh warga kelas menengah ke bawah, tetapi justru diperparah oleh aktivitas industri, perkantoran, apartemen, dan pusat perbelanjaan yang menyedot air tanah dalam skala masif. Ketika pipa PDAM tak menjangkau, atau kualitas air perpipaan buruk dan mahal, masyarakat dipaksa bertahan dengan cara yang perlahan menghancurkan kotanya sendiri.
Penurunan muka tanah di Jakarta kini telah mencapai tingkat mengkhawatirkan—di beberapa wilayah pesisir utara, amblesan tanah mencapai lebih dari 10 sentimeter per tahun. Dampaknya nyata: banjir rob semakin sering, intrusi air laut merusak kualitas air tanah, dan kawasan permukiman berubah menjadi wilayah rentan bencana. Ini bukan lagi ancaman masa depan; ini adalah krisis yang sedang berlangsung hari ini,Namun yang lebih menyedihkan, krisis ini bukan tanpa sebab yang jelas. Selama bertahun-tahun, kebijakan pengelolaan air di Jakarta berjalan setengah hati. Regulasi tentang pembatasan penggunaan air tanah kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Warga kecil dipersalahkan, sementara pelanggaran oleh sektor industri dan properti kerap luput dari sanksi tegas. Pengawasan lemah, data tidak transparan, dan komitmen politik sering berhenti di atas kertas.
Lambatnya Program Pipanisasi PAM Jaya: Ketika Hak Atas Air Bersih Terus Ditunda
Di tengah krisis air bersih yang kian mengancam Jakarta, program pipanisasi PAM Jaya justru berjalan tertatih. Padahal, pipanisasi merupakan tulang punggung solusi untuk menghentikan ketergantungan warga pada air tanah yang selama puluhan tahun telah mempercepat penurunan muka tanah dan memperparah ancaman tenggelamnya ibu kota. Ironisnya, di saat urgensi semakin nyata, laju pembangunan jaringan perpipaan justru tertinggal jauh dari kebutuhan riil masyarakat.
Hingga hari ini, cakupan layanan air perpipaan di Jakarta belum mampu menjangkau seluruh warga secara merata. Masih banyak kawasan padat penduduk—terutama di wilayah pesisir, permukiman padat, dan kawasan menengah ke bawah—yang belum tersentuh layanan air bersih layak. Akibatnya, warga dipaksa bergantung pada air tanah, air isi ulang berkualitas meragukan, atau membeli air dengan harga tinggi. Kondisi ini mencerminkan kegagalan bumd PAM JAYA dalam menjamin hak dasar rakyat atas air bersih yang aman dan terjangkau.
Lambatnya pipanisasi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan tata kelola dan keberpihakan. Perencanaan yang tidak transparan, target yang kerap berubah, serta lemahnya pengawasan membuat program ini berjalan tanpa arah yang jelas. Di sisi lain, proyek-proyek berskala besar seperti kawasan komersial dan hunian elite justru kerap lebih cepat menikmati layanan air perpipaan, memperlebar jurang ketimpangan akses antara warga mampu dan masyarakat akar rumput.
keterlambatan ini berdampak langsung pada krisis lingkungan. Selama pipanisasi belum merata, eksploitasi air tanah akan terus berlangsung. Sumur bor ilegal tumbuh di mana-mana, sementara pengawasan nyaris tak efektif. Akibatnya, penurunan muka tanah kian tak terkendali, banjir rob semakin sering, dan daya dukung lingkungan Jakarta semakin rapuh. Ini adalah lingkaran krisis yang dibiarkan berulang tanpa terobosan nyata.
Yang patut disesalkan, lambannya program pipanisasi sering kali ditutupi dengan narasi optimistis dan janji jangka panjang, tanpa evaluasi terbuka terhadap kegagalan yang sudah terjadi. Publik jarang mendapatkan informasi yang jujur mengenai progres, kendala, maupun akuntabilitas penggunaan anggaran. Padahal, transparansi adalah syarat utama untuk membangun kepercayaan dan partisipasi masyarakat.
catatan akhir tahun 2025 atas lambatnya pipanisasi PAM Jaya seharusnya menjadi alarm keras bagi GUBERNUR DK JAKARTA dan seluruh pemangku kepentingan. Tanpa percepatan yang serius, krisis air bersih akan berubah menjadi bencana sosial yang permanen. Jakarta tidak kekurangan teknologi atau sumber daya—yang kurang adalah keberanian dan serius dalam menjalankan kebutuhan air bersih di jakarta
sehingga perlu adanya evaluasi kinerja direktur pam jaya dan jajarannya untuk di ganti dengan orang cepat bekerja dalam mensukseskan program 100% pipanisasi air bersih untuk warga jakarta
Jika pipanisasi terus berjalan lamban, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kenyamanan hidup warga, melainkan masa depan Jakarta itu sendiri. Kini saatnya menghentikan retorika, mempercepat tindakan, dan memastikan bahwa setiap tetes air yang mengalir ke rumah warga adalah bukti nyata keberpihakan pemda dk jakarta kepada warga jakarta
TG PRIOK, JAKUT ,29 DES 2025


















