Ibu Nahawiya dan Wajah Panjang Pengabdian Guru Honorer

Oleh: Abu Sale Salekota

Kisah Ibu Nahawiya Tamalene seharusnya tidak dibaca sekadar sebagai cerita haru seremonial penyerahan Surat Keputusan (SK) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Lebih dari itu, kisah ini adalah potret nyata wajah panjang pengabdian guru honorer di daerah terpencil—yang selama puluhan tahun bekerja dalam senyap, sering kali tanpa kepastian dan tanpa perlindungan negara.

Pada 18 Desember 2025, di Kabupaten Seram Bagian Barat, ribuan tenaga honorer menerima SK PPPK Paruh Waktu. Di antara mereka, nama Ibu Nahawiya mencuri perhatian publik. Bukan karena sensasi, melainkan karena rekam jejak pengabdian yang nyaris tak masuk akal dalam logika birokrasi: 37 tahun mengajar sebagai guru honorer di SD Inpres Buano, Desa Buano Utara, Kecamatan Huamual Belakang.

Tiga puluh tujuh tahun adalah waktu yang cukup untuk membesarkan anak, membangun karier, bahkan menyelesaikan satu generasi pembangunan. Namun bagi Ibu Nahawiya, waktu selama itu dihabiskan di ruang kelas sederhana, mengajarkan dasar-dasar kehidupan membaca, menulis, berhitung kepada anak-anak di pelosok Maluku. Ia hadir jauh sebelum istilah reformasi pendidikan digaungkan, dan tetap bertahan ketika banyak orang memilih pergi.

Fakta bahwa pengakuan negara baru datang di usia senja menyisakan pertanyaan kritis: mengapa pengabdian sebesar itu harus menunggu begitu lama untuk diakui? Di sinilah kisah Ibu Nahawiya menjadi penting, bukan hanya sebagai inspirasi, tetapi juga sebagai kritik sosial yang halus namun tajam terhadap sistem pengelolaan tenaga pendidik honorer.

Pemerintah daerah patut diapresiasi atas langkah memberikan SK PPPK kepada ribuan tenaga honorer. Namun, kasus Ibu Nahawiya menunjukkan bahwa kebijakan administratif saja tidak cukup untuk menjawab persoalan keadilan bagi guru yang telah mengorbankan hidupnya demi pendidikan anak bangsa. Pengabdian sepanjang itu seharusnya mendapat perlakuan dan penghargaan yang lebih bermakna.

Di media sosial, Ibu Nahawiya disebut sebagai “mutiara dari Buano Utara.” Julukan tersebut mencerminkan pengakuan publik yang mungkin datang lebih cepat daripada pengakuan negara. Ini menandakan satu hal: masyarakat tidak buta terhadap pengabdian, meski sistem kerap lamban meresponsnya.

Kisah ini hendaknya menjadi momentum evaluasi bersama. Negara tidak boleh terus membiarkan guru honorer menua dalam ketidakpastian. Pendidikan di daerah terpencil berdiri di atas ketulusan orang-orang seperti Ibu Nahawiya dan sudah seharusnya ketulusan itu dibalas dengan kebijakan yang adil, manusiawi, dan berkeadilan waktu.

Ibu Nahawiya Tamalene kini bukan sekadar penerima SK PPPK. Ia adalah simbol keteguhan, sekaligus pengingat bahwa di balik setiap ruang kelas sederhana di pelosok negeri, ada pengabdian panjang yang menunggu untuk benar-benar dihargai.

Unggulan

Rekomendasi

Memberikan informasi yang akurat, memberikan wadah aspirasibagi masyarakat serta memberikan inspirasi untuk masyarakat luas.

Featured Posts

Follow Us