Koalisi Sipil: Reformasi Polri Mandek, UU Harus Dirombak Total

Jakarta — Desakan reformasi kepolisian kembali menguat. Koalisi Sipil Reformasi Polri (KORSPRI) menyerukan revisi menyeluruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Desakan ini bukan tanpa alasan kewenangan Polri yang terlalu luas dinilai berpotensi disalahgunakan dan mengancam prinsip akuntabilitas serta supremasi hukum di negara demokratis.

Ketua KORSPRI, Laode Kamaludin, menegaskan bahwa langkah revisi ini menjadi krusial untuk memastikan Polri benar-benar bekerja sebagai alat negara yang profesional, transparan, dan tunduk pada kontrol sipil. 
“Banyak pasal dalam UU Polri saat ini terlalu longgar dan membuka ruang penyalahgunaan. Kami ingin Polri yang berpihak pada warga negara, bukan pada kekuasaan,” tegas Laode dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (21/10).

Dalam kajian mereka, KORSPRI merinci enam poin reformasi utama yang harus segera dibahas oleh DPR RI dan Pemerintah:

1. Pembatasan kewenangan penyidikan tindak pidana khusus. Penyidikan kasus korupsi (Tipikor), tindak pidana tertentu (Tipiter), dan tindak pidana khusus (Tipidsus) harus dikembalikan pada lembaga independen seperti KPK atau Kejaksaan Agung, bukan ditangani Polri. 
2. Pembatasan fungsi intelijen Polri. Polisi hanya boleh menjalankan intelijen keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan intelijen strategis negara yang seharusnya di bawah lembaga lain. 
3. Penempatan Polri di bawah kementerian sipil. KORSPRI menilai Pasal 8 UU Polri perlu direvisi agar Polri tidak langsung berada di bawah Presiden, melainkan di bawah kementerian sipil untuk memperkuat pengawasan publik. 
4. Pembatasan masa jabatan Kapolri. KORSPRI mengusulkan batas maksimal tiga tahun untuk memastikan regenerasi kepemimpinan yang sehat. 
5. Sistem promosi berbasis merit dan prestasi. Pengangkatan jabatan dan kenaikan pangkat harus berdasarkan integritas dan kinerja, bukan kedekatan personal atau politik. 
6. Penguatan prinsip akuntabilitas publik. Revisi UU diharapkan membuka ruang kontrol masyarakat terhadap kebijakan dan tindakan Polri.

Menurut KORSPRI, lemahnya pengawasan dan luasnya kewenangan Polri berpotensi menciptakan konflik kepentingan dalam penegakan hukum. “Reformasi Polri bukan sekadar isu internal kepolisian, tetapi bagian dari reformasi demokrasi itu sendiri,” ujar Laode. 

Ia menekankan, tanpa pembatasan yang jelas, aparat berpotensi menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung masyarakat. “Kita ingin Polri yang bekerja berdasarkan hukum dan prestasi, bukan karena perintah politik,” tambahnya.

KORSPRI mendesak DPR RI dan Pemerintah segera membuka ruang partisipasi publik dalam pembahasan revisi UU Polri. Mereka juga mengajak masyarakat sipil, akademisi, dan media untuk mengawal proses reformasi ini. 

“Kepolisian yang profesional dan akuntabel adalah fondasi kepercayaan publik terhadap negara. Tanpa reformasi Polri, kita tak bisa bicara tentang penegakan hukum yang adil dan beradab,” pungkas Laode Kamaludin.

Desakan ini menandai gelombang baru tuntutan reformasi institusi penegak hukum di Indonesia sinyal bahwa publik semakin menuntut polisi yang transparan, berintegritas, dan benar-benar menjadi pelindung rakyat, bukan kekuasaan.

Unggulan

Rekomendasi

Memberikan informasi yang akurat, memberikan wadah aspirasibagi masyarakat serta memberikan inspirasi untuk masyarakat luas.

Featured Posts

Follow Us