Langgur, Maluku Tenggara – Dugaan kasus penelantaran anak dan istri oleh oknum anggota Kepolisian Resor (Polres) Maluku Tenggara, Bripda Didi Hasyadi, memicu gelombang protes dari pihak keluarga korban. Sudah hampir satu tahun berlalu sejak laporan dilayangkan Agustus 2024, namun penanganan kasus ini dinilai berjalan lamban dan cenderung ditutup-tutupi.
Bripda Didi Hasyadi, anggota aktif Polres Malra, diduga telah menelantarkan istri dan anak kandungnya sejak pertengahan 2024. Sahrul Renhoat, saudara kandung korban, menjadi juru bicara keluarga dan menyuarakan kekecewaan mereka terhadap kinerja kepolisian yang dianggap abai dan tidak berpihak.
Selama setahun lebih, tidak ada tindakan konkret terhadap Bripda Didi. Istri dan anak korban hidup tanpa nafkah dan perhatian, menghadapi tekanan psikologis dan beban ekonomi berat. Keluarga menyebut ini sebagai pelanggaran kode etik profesi, hukum, dan nilai kemanusiaan.
Kasus ini terjadi di wilayah Maluku Tenggara dan dilaporkan sejak Agustus 2024. Namun, surat pemberitahuan perkembangan kasus (PPHP) baru disampaikan oleh pihak kepolisian pada Mei 2025, sembilan bulan setelah laporan masuk.
Menurut keluarga, lambannya penanganan serta minimnya transparansi mengindikasikan adanya perlindungan institusional terhadap pelaku karena statusnya sebagai anggota Polri. “Kalau warga biasa pasti sudah ditindak. Ini jelas tidak adil,” ujar Sahrul.
Keluarga berencana menggalang aksi protes melalui konsolidasi dengan organisasi kemahasiswaan seperti Cipayung Plus serta sejumlah LSM perempuan. Mereka juga menyerukan agar Kapolda Maluku dan Propam Mabes Polri turun langsung menangani kasus ini. Jika perlu, mereka akan membawa persoalan ini ke tingkat nasional untuk mendapat perhatian dan keadilan.
“Kami kecewa dan tidak percaya lagi pada Polres Malra. Ini bukan sekadar soal hukum, ini soal keadilan dan kemanusiaan. Polisi harus jadi pelindung, bukan pelaku,” tegas Sahrul dalam keterangannya.