Oleh Marto Zain Warat
Wakabid Bisnis Kepemudaan DPD KNPI Maluku
Peringatan Hari Santri 2025 yang mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” merupakan momentum refleksi nasional. Tema ini menegaskan bahwa santri bukan hanya penjaga tradisi keagamaan, tetapi juga agen kebudayaan, penggerak ekonomi, dan pembangun peradaban. Dalam konteks sejarah Indonesia, peran santri selalu terhubung dengan tradisi tasawuf dan tarekat yang membentuk watak keberagamaan masyarakat Nusantara, yang lembut, berilmu, dan berjiwa merdeka.
Zawiyah dan Spirit Pendidikan Sufi
Dalam sejarah Islam di Nusantara, pendidikan santri tumbuh dari akar tasawuf. Di banyak daerah, termasuk Maluku, dikenal tradisi belajar ikut dan tinggal di dekat rumah guru. Para murid membangun pondok sederhana di sekitar surau atau zawiyah, yakni pusat pengajaran dan pembinaan spiritual dalam tradisi tasawuf.
Zawiyah, secara praksis bukan sekadar tempat ibadah, melainkan ruang sosial dan kultural tempat ilmu, amal, dan kerja bersatu. Di sana para guru sufi atau disebut Tuang Guru (dalam dialeg Melayu Maluku), membimbing santri untuk tidak hanya menghafal teks, tetapi menanamkan nilai: disiplin, kesabaran, dan tanggung jawab sosial. Dari sinilah tumbuh karakter santri yang mandiri dan berorientasi pada pengabdian.
Jaringan Tarekat dan Spirit Perlawanan
Warisan spiritual ini tidak berhenti di ruang doa. Ia juga menjadi sumber kekuatan perlawanan terhadap kolonialisme. Di Maluku, Tarekat Dasuqiyah Muhammadiyah yang dibawa dari Mesir ke Ambon melalui jalur ulama Muda lokal yang menimba Ilmu di al-Azhar, menekankan keseimbangan antara dzikir, amal, dan tajdid (pembaruan sosial).
Sementara Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) yang menyebar dari Suryalaya, kemudian ke Surabaya, turut memperkuat jaringan pesantren dan komunitas zikir di wilayah timur, termasuk Maluku.
Selain dua tarekat itu, masih hidup pula berbagai kelompok zikir lokal di Maluku, baik di Ambon, Seram, maupun Kei, yang mempertahankan warisan spiritual para sufi. Melalui dzikir, maulid, dan manaqiban, masyarakat menanamkan nilai cinta kasih, kerja keras, dan solidaritas sosial.
Para santri dan sufi menjadi bagian penting dalam perjuangan bangsa. Surau dan zawiyah menjadi basis gerakan rakyat yang menolak penindasan. Mereka menanamkan kesadaran bahwa melawan penjajahan adalah bagian dari jihad spiritual, yang membebaskan diri dari ketakutan dan keterikatan duniawi.
Ratib Taji Besi: Filsafat Keteguhan Jiwa
Salah satu manifestasi spiritual yang paling menarik di kawasan timur Indonesia adalah tradisi Ratib Taji Besi, yang juga dikenal sebagai Dabus di beberapa daerah seperti Tidore, sebagian Seram Timur, dan Kepulauan Kei. Tradisi ini merupakan bentuk dzikir dan tari sufi yang memiliki akar dalam tarekat Rifaiyah, tarekat yang menekankan keteguhan jiwa dan kekuatan batin dalam menghadapi penderitaan duniawi.
Dalam praktik Ratib Taji Besi, para pelaku berdzikir dengan irama tertentu sambil melakukan gerakan simbolik yang menunjukkan ketahanan tubuh terhadap benda tajam, api, atau besi. Namun inti dari ritual ini bukan pada “kekebalan fisik”, melainkan keteguhan iman dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Ia adalah simbol kemenangan spiritual atas rasa takut, lapar, dan penderitaan.
Di Tidore dan sebagian Seram Timur, Ratib Taji Besi berkembang sebagai bagian dari ritual sosial-keagamaan, sering kali dihubungkan dengan momen-momen penting seperti tasyakuran, pelantikan adat, atau peringatan Maulid Nabi. Di Kepulauan Kei, jejak serupa terlihat dalam kelompok zikir tertentu, pada acara besar di beberapa kampung Islam, Pulau Tayando.
Filosofinya sederhana namun mendalam: jiwa yang bersih dan tawakal dapat menundukkan rasa sakit dan penderitaan, sebagaimana orang yang beriman dapat menaklukkan cobaan hidup dengan ketenangan batin. Santri, dalam konteks ini, adalah penerus jalan Ratib Taji Besi: manusia yang kuat dalam iman, teguh dalam kerja, dan berani menghadapi kerasnya zaman tanpa kehilangan kasih sayang.
Dari Ratib ke Etos Kerja dan Kemandirian
Nilai yang terkandung dalam Ratib Taji Besi dapat dilihat dalam bentuk kekuatan, kesabaran, dan tawakal. Sejatinya membentuk etos kerja santri. Para sufi mengajarkan bahwa kerja adalah ibadah. Dalam masa damai, para santri sufi menekuni pertanian, peternakan, dan perdagangan. Mereka hidup mandiri dan tidak bergantung pada kekuasaan.
Bahkan, beberapa penganut Sufisme di Maluku, yang pernah ditemui Penulis pernah berujar: Pekerjaan yang Halal adalah Memancing Ikan dan Bertani.
Kemandirian ekonomi ini meneladani para nabi: Nabi Daud adalah pandai besi, Nabi Muhammad pedagang, Nabi Nuh pembuat kapal, Nabi Musa penggembala. Semua menunjukkan bahwa spiritualitas tidak terpisah dari produktivitas.
Kini, pesantren-pesantren di seluruh Indonesia sedang menghidupkan kembali nilai ini melalui ekonomi santri. Dari koperasi, pertanian organik, hingga bisnis digital, santri menunjukkan bahwa kesalehan dan kemandirian dapat berjalan bersama. Di Maluku, gerakan yang berideologi Santri melalui wadah perkumpulan pemuda, misalnya GP Ansor, secara serius mulai mengarah kepada Peternakan dan Pertanian.
Bila kita tinjau lebih dalam, filosofi Ratib Taji Besi dapat memberi nafas baru bagi ekonomi Santri: bahwa keberanian spiritual harus berwujud dalam keberanian berdikari, berproduksi, dan berinovasi. Dalam konteks pembangunan bangsa, inilah makna kemerdekaan yang sejati, yang bebas dari ketergantungan, kuat secara moral dan ekonomi.
Spirit Lokal, Visi Global
Dalam dunia modern yang penuh disrupsi, nilai-nilai tasawuf justru menjadi panduan menuju peradaban yang manusiawi. Santri hari ini memegang peran penting untuk membawa etika spiritual ke ruang digital dan global.
Santri yang tumbuh dalam tradisi zawiyah dan Ratib Taji Besi memahami keseimbangan antara dzikir dan fikir, antara ketenangan batin dan ketajaman akal. Spirit ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan globalisasi, kapitalisme digital, dan krisis kemanusiaan.
Ketika dunia modern memuja kecepatan, santri mengingatkan tentang makna kesabaran. Ketika dunia menekankan efisiensi, santri mengajarkan keikhlasan. Ketika dunia terbelah oleh konflik, santri menghadirkan cinta dan silaturahmi.
Olehnya itu, perendahan konsepsi mengenai tradisi Santri yang dilakukan oleh salah satu stasiun TV Swasta beberapa waktu lalu, merupakan kritik outsider (perspektif orang luar) yang memilih untuk gagal dalam memahami pendidikan dalam dunia Pesantren.
Dengan fondasi pendidikan semacam ini, santri bukan hanya penjaga moral bangsa, tetapi juga pembentuk arah peradaban dunia. Mereka mewarisi kekuatan spiritual pada Islamisasi Nusantara sejak masa lampau, berabad silam. Di Maluku, warisan spirit Islamisasi Sufi cum Pedagang juga melekat-berurat dalam tradisi lisan, dari Tidore hingga Kei, dari rumah Tuang-tuang Guru/Lebe/Nyira di masa lalu hingga modern ala pesantren di masa kini, dari dzikir hingga kerja produktif.
Penutup
Hari Santri 2025 mengingatkan kita bahwa perjuangan spiritual tidak pernah berakhir. Santri masa kini adalah waris dari sufi masa lalu: mereka yang berdzikir dalam kesunyian namun bekerja keras dalam kehidupan sosial.
Dari zawiyah hingga pesantren, dari Ratib Taji Besi di Tidore hingga kelompok zikir di Kei, semua mengajarkan hal yang sama, bahwa kemerdekaan sejati lahir dari hati yang berserah kepada Tuhan dan tangan yang bekerja bagi sesama.
Santri Indonesia hari ini, dengan warisan sufistik dan etos kerja yang kokoh, memegang kunci menuju peradaban dunia yang berkeadilan dan berkeadaban.



















